SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
a. Definisi
Tidak
begitu mudah untuk memberikan suatu definisi yang memadai mengenai
sistem pendidikan nasional. Konsep sistem pendidikan nasional akan
tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan
konsep tentang pendidikan nasional. Perlu pula disadari bahwa konsep
me-ngenai pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa
semata-mata disimpulkan dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi
sehari-hari di lapangan, melainkan harus dilihat dari segi konsepsi
atau ide dasar yang me-landasinya seperti yang biasanya tersurat dan
juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang Dasar,
Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai
pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1950 yang merupakan produk perta-ma undang-undang
pendidikan dan pengajaran sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan
definisi tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan na-sional, maupun
konsep sistem pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya
yang ditulis oleh Mr. Muhd. Yamin, Menteri Pendidikan, Penga-jaran dan
Kebudayaan pada waktu itu, dikemukakan bahwa pendidikan nasi-onal
merupakan landasan pembangunan masyarakat nasional, yaitu masya-rakat
yang berkesusilaan nasional. Oleh karena itu, sistem pendidikan dan
pe-ngajaran lama secara berangsur-angsur harus digantikan dengan sistem
pendi-dikan dan pengajaran nasional yang demokratis. Memang dapat
dimak1umi, bahwa pada masa-masa itu konsep dan gagasan pendidikan
nasional meru-pakan reaksi dari sistim pendidikan kolonial yang bersifat
diskriminatif dan elitis.
Pengertian
yang 1ebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan na-siona1 dan sistem
pendidikan nasiona1 dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini
pendidikan didefinisikan sebagai “Usaha sadar dan terencana un-tuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara” ( Pasal 1, ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan
sebagai “pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud dengan
sistem pendidikan nasional adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”
(pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan demikian, sistem (pendi-dikan nasiona1
dapat dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun
secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
b. Unsur-unsur Pokok Sistem Pendidikan nasional
Kazik
(1969:1) mendefinisikan sistem sebagai “organisme yang diran-cang dan
dibangun strukturnya secara sengaja, yang terdiri dari komponen-kumponen
yang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain yang harus berfungsi
sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan khusus yang telah
ditetapkan sebelumnya”. Suatu sistem memiliki tiga unsur pokok: (1)
tujuan, (2) isi atau komponen, dan (3) proses. Kalau pendidikan
nasional kita benar-benar merupakan suatu sistem, maka ia
setidak-tidaknya memiliki tiga unsur pokok tersebut. Di samping itu,
komponen-komponen sistem tersebut harus berhubungan dan berinteraksi
secara terpadu. Suatu sistem (termasuk sistem pendidikan) dibangun
dengan maksud untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Sistem dibangun
dari komponen-komponen dan kom-ponen-komponen bagian yang semuanya itu
membentuk isi suatu sistem sebagai piranti untuk mewujudkan tujuan yang
telah ditetapkan. Mekanisme dan prosedur beroperasinya serta
berfungsinya komponen-komponen suatu sistem dalam upaya mewujudkan
tujuan sistem merupakan proses sistem tersebut.
1) Tujuan Pendidikan Nasional
Apa
tujuan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan nasional?. Kalau
pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berakar pada nilai-nilai
agama dan kebudayaan nasional, maka pendidikan nasional dan sistem
pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan
sistem pendidikan pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, karena
pendidikan pada masa penjajahan secara formal tidak berakar pada
kebudayaan nasional dan tidak berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai konsekuensinya, rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan
nasional harus dicari dari dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi
kemerdekaan.
Sejak
proklamasi kemerdekaan, tujuan pendidikan telah mengalami beberapa kali
perubahan, mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada
masa-masa tersebut misalnya, pada masa permulaan kemerdekaan, tujuan
pendidikan terutama berorientasi pada usaha “menanamkan jiwa
patriotisme” (S.K. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.
104/Bhg. 0, tanggal 1 Maret 1946}, karena pada masa itu negara ingin
menghasilkan patriot bangsa yang rela berkorban untuk negara dan bangsa.
Dengan semangat tersebut diharapkan kemerdekaan bisa dipertahankan dan
dengan semangat itu pula kemerdekaan akan diisi.
Dengan
keluarnya Undang-undang No. 4 Tahun 1950, rumusan tujuan pendidikan dan
pengajaran mengalami perubahan. Pasal 3 undang-undang tersebut
menetapkan bahwa “tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk
manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.
Tekanan tampaknya diletakkan pada pembentukan warga negara yang
demokratis dan warga negara yang bertanggung jawab sebagai antitesa
warga masyarakat terjajah. Tujuan pendidikan ini tidak mengalami
perubahan sampai pada saat undanq-undang No. 4 Tahun 1950 diberla-kukan
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai Undang-undang no. 12
tahun 1954.
Pada
tahun 1965, pada saat Indonesia berada di bawah gelora Manipol/Usdek,
rumusan pendidikan nasional disesuaikan dengan situasi politik pada masa
itu. Melalui Keputusan Presiden Repu1ik Indonesia No. 145 tahun 1965
tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut :
“Tujuan
Pendidikan Nasional kita baik yang dise1enggarakan oleh pihak
Pemerintah maupun Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan
Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila,
yang bertanggung jawab atas terse1eng-garanya masyarakat Sosialis
Indonesia, adi1 dan makmur baik spirituil dan materiil dan yang berjiwa
Pancasila, yaitu:
(a) Ke-Tuhanan yang Maha Esa
(b) Prikemanusiaan yang adil dan beradab,
(c) Kebangsaan
(d) Kerakyatan
(e) Keadilan Sosial seperti dijelas-kan dalam Manipol/Usdek”.
Sesudah
terjadinya peristiwa G30S/PKI, kembali rumusan tujuan pendidikan
mengalami perubahan. Berdasarkan ketetapan Majelis Permu-syawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXVII/MPRS /1966, tujuan
pendidikan dirumuskan sebagai berikut: “Membentuk manusia Pancasilais
sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945″.
Pada masa ini tujuan pendidikan tampaknya diti-tikberatkan pada
pembentukan manusia Pancasilais sejati, karena pada masa itu
barangkali banyak ditemukan manusia Pancasilais palsu yung tidak
sepenuhnya berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang murni.
Pada
tahun 1973, MPR hasil pemilihan umum menge1uarkan ketetapan No.
IV/MPH/1973 yang dikenal dengan nama Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Dalam ketetapan tersebut dirumuskan pula tujuan nasional
pendidikan yang baru berbunyi sebagai berikut :
“Pendidikan
pada hakikatnya ada1ah usaha sadar untuk mengem-bangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
0leh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki o1eh se1uruh rakyat
sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan ada1ah
tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Pemerintah. Pembangunan di
bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan
diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila
dan untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya,
memi1iki pengetahuan dan keterampilan, dapat me-ngembangkan kreativitas
dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang
rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi
pekerti yang luhur, men-cintai bangsanya dan mencintai sesama manusia
sesuai dengan ketentuan yang temaktub dalam dalam Undang-undang Dasar
1945″.
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan bahwa :
“Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa dan yang berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampi1an , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.”
Sementara
itu, rumusan tujuan pendidikan nasional yang terbaru dapat dibaca dalam
UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 yang menegaskan bahwa : “Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Mempelajari rumusan-rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan di atas beberapa kesimpulan dapat ditarik:
a) Tujuan pendidikan nasional cukup sering berubah mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada suatu masa.
b)
Tujuan pendidikan yang dirumuskan pada umumnya sangat idea1istis, dan
tampaknya kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan kesulitan dalam
pelaksanaannya di1apangan.
c)
Perubahan tujuan tampaknya tidak secara maksimal diikuti dengan
perubahan strategi dan piranti yang memungkinkan tujuan tersebut dapat
diwujudkan.
2) Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Lepas
dari sega1a variasi rumusan tujuan pendidikan yang telah dike-mukakan
di atas, pendidikan nasional merupakan suatu proses yang di-maksudkan
untuk membentuk sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai
tingkat usia dan golongan yang meliputi: kemampaun kepribadian dan
moralitas, kemam-puan inte1ektua1, kemampuan sosial kemasyarakatan,
kemampuan vokasional, kemampuan jasmani dan kemampuan-kemampuan lainnya.
Untuk mewujudkan tujuan yang beraneka ragam tersebut diperlukan
satuan-satuan dan jalur-jalur pen-didikan yang merupakan
komponen-komponen sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen sistem
pendidikan nasional tersebut dapat dibagi dalam dua go1ongan besar
yaitu: (1) Satuan Pendidikan Sekolah dan (2) Satuan Pendidikan Luar
Sekolah.
Satuan
Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendi-dikan yang
bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan, Dilihat dari
jenjangnya, pendidikan sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan
Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi.
Dilihat dari sifatnya, pendidikan sekolah dapat diklasifikasikan lagi
menjadi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa,
pendidikan kedinasan, pendjdikan keagamaan, pendidikan akademik dan
pendidikan profesional.
Satuan
pendidikan luar sekolah meliputi: pendidikan dalam keluar-ga,
pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan
satuan-satuan pendidikan lain yang sejenis. Pendidikan pada satuan
pendidikan ini bisa bersifat informal, formal, maupun formal.
Sebenarnya
masih ada lagi jenis pendidikan lain yang mempunyai potensi untuk
meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia. Jenis pendidikan tersebut
adalah pendidikan oleh dan untuk diri sendiri atau pendidikan yang
diperoleh secara otodidak melalui membaca, memper-hatikan, bertanya,
mencari tahu serta bentuk-bentuk pendidikan informal lain yang
dipero1eh dari berbagai media massa dan sumber belajar 1ainnya.
Dalam
usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi
setiap warga negara serta mendorong terwujudnya masya-rakat belajar
melalui proses belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua
komponen atau satuan pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua
warganegara yang memerlukan dan siap memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan pendidikan harus bekerja
secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam suatu kesatuan
sistenm yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita
pendidikan dalam keluarga belum memainkan peranan yang berarti. Padaha1
Iandasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar penga-ruhnya bagi
proses pendidikan anak selanjutnya. 0leh karena itu partisipasi keluarga
dalam proses pendidikan per1u ditingkatkan .
Keberhasilan
komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga
tergantung pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu
berfungsinya komponen-kornponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut.
Beberapa di antara sarana penunjang dalam sistem pendidikan kita ada1ah:
kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan pengelolaan .
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu ( UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 ). Kurikulum disusun
sebagai alat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasiona1. Kuriku1um pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, potensi daerah,
dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :
peningkatan iman dan taqwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan
potensi,kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah
dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia
kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama;
dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. (UU No. 20 thn 2003 pasal 36).
Tenaga
kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan.
Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan ke-giatan mengajar, melatih,
meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan
teknis dalam bidang pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga
pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, penga-was, peneliti dan
pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi
sumber belajar. Mereka seharusnya merupakan orang-orang yang profesional
yang menguasai tugasnya dan memiliki dedikasi dalam melaksanakan
tugasnya.
Berhasilnya
suatu satuan pendidikan dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang
dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan
perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu
mengajar dan dana yang memadai.
Meskipun
pengelolaan pendidikan nasional berada di bawah tang-gung jawab Menteri
Pendidikan Nasional, sebagian tanggung jawab pengelolaan perlu
diserahkan kepada pejabat yang langsung berhadapan dengan
penyelenggaraan proses pendidikan.
3) Proses Sistem Pendidikan Nasional
Yang
dimaksud proses dalam sistem pendidikan nasional adalah mekanisme kerja
dalam bentuk berbagai ketentuan, aturan, maupun prosedur yang
memungkinkan seluruh komponen sistem pendidikan (pendidikan luar sekolah
dan pendidikan. sekolah untuk berbagai jenis dan jenjang) bekerja dan
menunaikan fungsi untuk mencapai tujuan yang te1ah ditetapkan.
Aturan-aturan tersebut meliputi aturan-aturan mengenai persyaratan masuk
ke dalam suatu jenjang dan/atau jenis pendidikan, mata ajaran yang
dipelajari dan untuk berapa lama dipelajari, buku-buku yang
dipergunakan, prosedur dan tata cara penyelenggaraan pengajaran termasuk
metode mengajar dan sistem evaluasi yang dipergunakan, banyaknya
pertemuan dalam satu minggu, serta sejumlah aturan lain yang menyangkut
pelaksanaan proses pendidikan dan pengajaran.
Sebagian
dari aturan-aturan ini ditetapkan dalam bentuk Undang-undang,
Peraturan-peraturan Pemerintah, instruksi dari pejabat pendidikan pada
berbagai tingkatan dan ketentuan-ketentuan yang dikembangkan sendiri
oleh suatu satuan pendidikan baik yang dinyatakan secara tertulis maupun
tidak tertulis. Kerapkali komponen-komponen sistem pendidikan yang ada
tidak mampu menunaikan fungsinya dengan baik karena tidak ada aturan
yang menuntun proses kerjanya, atau karena aturan-aturan yang ada kurang
memadai atau seringkali berubah-ubah. Oleh karena itu, aturan-aturan
yang bersifat fundamental perlu ditetapkan dalam bentuk ketetapan yang
lebih permanen sifatnya seperti undang-undang atau peraturun-peraturan
pemerintah.
Tidak
semua aturan yang menuntun proses penyelenggaraan pendidikan
harus diatur melalui undang-undang atau peraturan pemerintah.
Aturan-aturan yang bersifat lebih dinamis dan mudah berubah sebaiknya
ditetapkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang dapat diubah dengan
cepat.
4.Realisasi Si.stem Pendidikan Nasional dan Permasalahannya
a. Realisasi Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 yang kita anggap sebagai sumber utama gagasan sistem
pendidikan nasional belum genap berusia 1 tahun. Oleh karena itu,
mungkin masih terlalu dini untuk menilai realisasi serta pelaksanaannya
di lapangan. Peraturan-peraturan pemerintah yang membe-rikan pedoman
pelaksanaannya belum disusun. Setelah ketentuan-ketentuan dalam
peraturan-peraturan pemerintah itu disusun barulah dapat dirancang
kegiatan-kegiatan pelaksanaannya. Berdasarkan gambaran di atas, dapat
diperkirakan bahwa realisasi pelaksanaan undang-undang mengenai sistem
pendidikan nasional secara utuh akan masih memerlukan waktu.
Masyarakat
mungkin menaruh harapan yang besar akan kemampuan undang-undang ini
dalam menangani masalah-masalah pendidikan. Ada kesan bahwa semua
persoalan pendidikan akan bisa diselesaikan – setidak-tidaknya akan
lebih mudah diselesaikan – setelah undang-undang ini diberlakukan.
Harapan semacam itu mungkin agak berlebihan, karena fungsi utama
undang-undang ini pada dasarnya adalah sebagai sumber acuan untuk
memulai langkah-langkah pembenahan dalam upaya pendidikan. Masih banyak
pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat hal-hal yang diatur dalam
undang ini menjadi suatu kenyataan.
Perlu
disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua
kegiatan pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan
nasional hanya mampu memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip
dasar untuk menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara
umum. Realitas pe1aksanan pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan
oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru, kepala
sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya.
b. Masalah-Masalah Pendidikan Yang Ada Sekarang
Pendidikan
kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah
besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah
keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.
1)
Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan
pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan
keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan
ke-pribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari
pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan
daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut.
2) Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif.
Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan
(performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achie-vement) (Dweck,
1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada
isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam
bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.
3)
Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air.
Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil
pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa.
Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas
hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya
berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil
meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.
4)
Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala,
khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan
sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan.
Admi-nistrasi serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya
masih bersifat sentra1istis yang sarat dengan beban birokrasi . O1eh
karena itu persoa1an-persoa1an pendidikan masih sulit untuk ditangani
secara cepat, efektif dan efisien.
Apabila
kondisi pendidikan seperti ini berlangsung terus dan tidak
bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa
lain pada masa-masa yang akan datang . Dalam menghadapi persa-ingan
dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang ekonomi,
manusia Indonesia barus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang
berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar
berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet,
kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka,
bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu
saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar
sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut.
Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak
pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik
mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak
aval untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata
mengandalkankan pada bakat dan kemampuan alamiah. Sebaliknya, pendidikan
Amerika lebih mengandalkan hasil pendidikannya dari anak-anak yang
memiliki kemampuan tinggi ( Gordon, 1987; Sidabalok, 1989 ).
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 telah meletakkan landasan bagi pembangunan
sistem pendidikan nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan
dalam pengembangan pendidikan 1ebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa
kemampuan survival bangsa kita dimasa-masa yang akan datang ditentukan
oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila
kita percaya bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia, maka sistem pendidikan nasional harus
diupayakan agar dapat memecahkan masalah serta mengatasi kendala-kendala
yang disebutkan di atas.
c. Usaha-usaha ke arah pemecahan masalah
Sesuai
dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama
dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagai-mana
meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan
tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya
dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam
me-ningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua
tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Na-sional tidak secara
eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya
menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik,
tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi,
penge-lolaan dan pengawasan.
Mangieri
(1985, hlm.1) menyebutkan 8 faktor yang paling sering disebut-sebut
sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan. Kede-lapan faktor
tersebut adalah; kurikulum yang ketat, guru yang kompeten, ci-ri-ciri
keefektifan, penilaian, keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat,
pendanaan yang memadai, disiplin yang kuat, dan keterikatan pada
ni1ai-ni1ai tradisiona1. Komisi nasional mengenai keunggulan dalam
bidang pen-didikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa
keunggulan
(exelence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan me1a1ui
cara-cara berikut: menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa
sejak permu1aan keterampi1an belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan
kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan
semaksima1 mungkin, menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku
di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.
Persoa1an
kedua ada1ah bagaimana mendemokratiskan sistem pen-didikan dalam arti
yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur
agar sistem pendidikan nasiona1 kita memberikan ke-sempatan yang sama
kepada semua warga negara untuk mempero1eh pen-didikan secara
demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada
kesempatan yang sama dalam mempero1eh pendidikan – yang cukup banyak
diantaranya masih berkua1itas rendah – be1um kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah
kualitasnya tidak banyak artinya dalam kehidupan. Karena kualitas
ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa diriikmati
oleh sebahagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan da1am
kemampuan intelektua1 maupun kemampuan ekonomis.
Usaha
untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan mem-peroleh
pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan
menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan
menye-1enggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang
sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar
Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan
seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan
serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi
syarat dengan sistem insentif yang mendorong kegairahan kerja, dan
satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi
fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan
standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak yang
berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah
di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan
lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.
Kewajiban
belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan
memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang dise-lenggarakan
dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan mempe-roleh
kesempatan untuk rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat
pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan
tingkat pendidikan sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara
lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa
setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program
wajib belajar. Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3
mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara.
Mengingat demikian vitalnya peranan kewajiban belajar dalam upaya
peningkatan kemampuan warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan
mengatur pelaksanaanya perlu segera dikeluarkan, sebagaimana yang
dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.
Sulit
diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup
pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak
dari generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang
ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang
ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatinkan.
Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini
adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka
pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan,
dan lebih me-nyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar.
Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua lembaga
pendidikan untuk mena-namkan kesadaran kepada peserta didiknya akan
pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar
5)Pembaharuan Pendidikan
Sistem
pendidikan selalu menghadapi tantangan baru, dengan serta merta
timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru untuk menghadapi tantangan baru itu
pendidikan berupaya melakukan pembaharuan dengan jalan menyempurnakan
sistemnya.
Pembaharuan yang terjadi meliputi landasan yuridis, kurikulum dan
perangkat penunjangnya, struktur pendidikan, dan tenaga kependidikan
1.
Pembaharuan pendidikan yang sangat mendasar ialah pembaharuan yang
tertuju pada landasan yuridisnya karena landasan yuridis berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat mendasari semua kegiatan pelaksanaan
pendidikan dan mengenai hal-hal yang penting seperti komponen struktur
pendidikan, kurikulum, pengelolaan, pengawasan, ketenagaan.
2. Pembaharuan kurikulum yaitu sifatnya mempertahankan dan mengubah
3.
Pembaharuan pola masa studi termasuk pendidikan yang meliputi
pembaharuan jenjang dan jenis pendidikan serta lama waktu belajar pada
suatu satuan pendidikan
4. Pembaharuan tenaga kependidikan adalah tenaga yang bertugas
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, melatih, meneliti,
mengembangkan, mengelola, memberikan pelayanan teknis dalam bidang
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Center
for Informatics office of Education an Cultural Research and
Development Ministry of Education an Culture, (1990) Jakarta: education
Indicator: Indonesia
Depdikbud (1989) UU RI No. 2 tahun 1982 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta; Balai Pustaka
Nana Sudjana, (1989). Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2G Depdikbud